Senin, 14 Januari 2008

Kurusetra dan Penyaksian Pembalasan


Padang Kurusetra, sebuah tempat, yang seorang satria gagah seperti Bima pun bergidik mendengar namanya. Tempat itu berupa sebuah tegalan teramat luas tempat Begawan Ramabargawa pernah mengamuk dan membunuh ribuan satria, dan membuat tujuh Telaga Saptapancaka dari darah mereka. Angker dan amis. Hawa pembunuhan seolah-olah curahan dendam para ksatria yang terbunuh.

Sebelumnya, di tempat itu, atas perintah ayahnya, Ramabargawa membunuh ibunya sendiri yang telah berselingkuh.

Ia melakukan pembunuhan itu dengan kesadaran yang terpecah. Pilihan itu lebih pahit dari Simalakama. Kalau ia tidak membunuh ibunya, ia sendiri yang akan ditikam ayahnya, seperti kedua kakaknya yang enggan melakukan perintah itu. Padahal, ibunya pasti akan mati juga oleh seorang suami yang menganggap pengkhianatan adalah sesuatu yang tak bisa dimaafkan.

Ah, benarkah pengkhianatan tak dapat dimaafkan, keluh Ramabargawa dalam gelisah. Lantas, bagaimana dengan pengkhianatan yang hendak dilakukannya terhadap seseorang yang telah mengantarnya pada kehidupan? Akankah pengkhianatan selalu layak, dan harus, dibalas dengan pengkhianatan pula?

Tapi simpuhan tubuh itu, tak urung jua, merasakan kekejaman kapak saktinya. Menghunjam, menyisakan sejumput kering kegetiran yang bertahan lama. Ia sendiri tak bisa menjelaskan apakah ia melakukannya karena bakti kepada ayahnya ataukah karena menuruti rasa takutnya terhadap kematian yang dijanjikan ayahnya bila ia menolak perintah itu.

Batin Ramabargawa tergoncang dahsyat. Siapa yang tidak akan bergemuruh jiwanya demi mendengar jerit ibu kandung yang berlumuran darah? Tak terkecuali Ramabargawa muda, betapapun kenyangnya ia melakukan olah batin dengan tapabrata. Apalagi ketika disadarinya bahwa darah tersebut berasal dari kapak yang sedang digenggamnya sendiri.

Dipeluknya tubuh yang sudah dingin itu dengan hati yang lantak oleh sesal. Sesal yang telah membuatnya gelap mata, dan menjadikannya tidak lagi menghargai sesuatu yang hidup. Tanpa sesal, dibunuhnya setiap satria yang melewati tempat ia merenungi kematian ibundanya.

Maka bukit itupun kemudian penuh simbah darah. Dan ketika akhirnya Ramabargawa terbebaskan dari dendam kesumat, tewas diterjang panah Ramawijaya, lautan darah itupun mengering, jadilah Kurusetra, tempat yang sejak awal dicadangkan para dewata untuk berlangsungnya Perang Bharatayuda.

Itu terjadi jauh sebelumnya, di masa Ramayana. Saat Wisnu masih menitis kepada Ramawijaya. Ketika predikat angkara murka masih disandangkan kepada Prabu Rahwana. Dan pusaka Panah Guawijaya milik sang Rama menghabisi Rahwana yang tergila-gila dengan kecantikan Dewi Shinta.
*** *** ***
Sekarang, di sebuah ujung di tegalan itu, di puncak sebuah bukit, Arjuna tengah sendiri termenung. Nuraninya merasakan kepedihan yang amat sangat ketika menyaksikan perang dahsyat yang sedang berlangsung di padang itu. Perang besar yang telah tertulis dalam suratan takdir ribuan tahun sebelum generasi Bharata ada, kini tengah berlangsung di depan matanya. Hatinya miris, dan matanya termangu melihat kekejaman manusia atas sesamanya.

Takdir, ah, mengapa harus sekejam ini? Mengapa suratan yang digoreskan oleh tangan Sang Maha Welas Asih harus terterjemahkan dalam bentuk penderitaan? Mengapa justru Sang Mahaadil menghendaki sesuatu yang dirasakan sebagai ketidakadilan oleh kehidupan yang Ia ciptakan sendirian?

Rasa Arjuna tak bisa lari dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ingin rasanya dia melepaskan Pasopati, sang panah saktinya, kepada matahari. Biar semuanya selesai saat itu juga. Biar semuanya merasakan “keselesaian” yang sama saat itu juga. Biar, desis Arjuna, biar beban itu tuntas seketika dengan buyarnya kehidupan di bawah matahari.

Arjuna teringat, perang dahsyat ini ada hanya karena sebuah hak yang mesti direbut dan dipertahankan. Tapi, kenapa hanya untuk menuntut sebuah hak Pandawa atas Hastinapura dan Indraprasta dari tangan Kurawa, jutaan nyawa ternyata harus saling menghilangkan, teriak batinnya menggugat. Apakah leluhurnya dahulu mengumpulkan kekayaan sedemikian banyak hanya untuk menciptakan kerusuhan sepeninggal mereka?

Dia teringat akan tahta Hastinapura yang menjadi musabab peperangan dahsyat ini. Ayahnya, Pandudewanata, dulu ditunjuk menjadi raja karena sang pewaris tahta resmi, Destarasta, pakdhe-nya, telah buta sejak lahir. Padahal, sebagai putra sulung, Destarastalah yang sebenarnya paling berhak duduk di tahta itu. Protes Destarasta saat itu menjadi tidak berguna sama sekali. Sebab, apa yang bisa dilakukan oleh seorang buta yang sejak kecil tidak pernah melihat abu-abunya motif manusia, seluhur apapun mereka, tentang kepemilikan sepenggal kekuasaan.

Dan kemudian Destarasta boleh bernafas lega, meski untuk sejenak. Pandu mati. Kematian Pandu membuatnya berkesempatan merasakan kursi tertinggi itu, meski hanya berstatus wali bagi anak-anak Pandu. Ini peluang baginya untuk mempersiapkan anak-anaknya agar bisa menjadi raja. Sebab ia toh juga seperti kebanyakan orang tua-orang tua yang lain, menginginkan anak-anaknya menjadi busur dari panah-panah mereka. Menjadikan darah daging sendiri sebagai pelaksana dari impian-impian masa lalu mereka. Impian masa lalu yang entah masih relevan atau tidak untuk tetap dikejar sekarang.

Arjuna, juga saudara-sudaranya yang lain, bukannya tidak menyadari siapa yang paling berhak berkuasa di Hastinapura selain ayah mereka. Tapi siapa yang tidak ingin hidup dengan gelimang kekuasaan? Minimal mencicipinya. Apalagi jika kekuasaan itu sejak awal telah dianggap menjadi jatah mereka. Juga harta berlimpah yang secara ajeg terkumpul dari negara-negara jajahan Hastinapura. Semuanya seakan menjadi alasan tepat baginya dan saudara-saudaranya untuk pergi berperang menghadapi Kurawa dan seluruh balatentara mereka.

Ah, semua orang mempunyai alasan masing-masing.

Tapi, toh Arjuna gamang juga. Pengembaraan dan pertapaannya sekian lama telah mengajarkan kepadanya tentang arti kekuasaan, harta dan juga kuasa terhadap harta. Dan sekarang, di tengah-tengah perang, saatnya batin itu berontak. Mengapa ia mesti terlibat dalam mempertaruhkan nyawa jutaan manusia hanya demi harta?

Atau, haruskah ia mundur? Berlari meninggalkan saudara-saudaranya, dan jutaan balatentara yang telah bersumpah setia kepada Pandawa. Entah apapun motif sumpah setia itu.
*** *** ***
Adalah kewaskitaan Kresna yang mampu melihat ‘pertempuran’ dalam batin satria panengah Pandawa itu. Bagi Kresna, memilih pilihan di antara dilema dan terbelahnya batin karena sekian pertanyaan-pertanyaan reflektif adalah bagian dari tugasnya.

Ajaran sebagaimana terdapat dalam kitab Bhagawad Gita kemudian terlantun dari manusia jelmaan Batara Wisnu ini. Jelas Kresna, bahwa perang ini memang terjadi karena pandawa sedang menuntut haknya. Akan tetapi, betapa setiap tuntutan terhadap hak ternyata tidak pernah berdiri sendirian. Di belakangnya, menyertai puluhan ribuan bahkan mungkin tak bisa terhitung alasan yang menuntut pula untuk dikabulkan. Karena alasan tidak pernah berdiri tunggal. Bahwa hak ternyata hanyalah salah satu ujung tombak dari sekian konsekuensi dan akibat yang harus dipenuhi. Dan ketika hak menuntut untuk dituntaskan, pengorbanan dan mengkorbankan adalah salah satu konsekuensinya.

Seolah-olah, atas Arjuna, Kresna telah menjadi Khidir terhadap Musa.

Dan Bharatayuda bukanlah sekedar pertempuran Pandawa untuk memperoleh kembali hak-haknya atas Indraprasta dan tahta Pandudewanata, tapi telah menjadi perang milik sang kesucian, antara kebenaran dan kebatilan. Sehingga dalam perang ini, siapapun, termasuk juga Pandawa bersaudara, akan terkena tuah akibat ketidaksuciannya.
*** *** ***
Padang Kurusetra kemudian menyaksikan kembalinya Arjuna sebagai senapati perang Pandawa. Spirit yang ditanamkan Kresna, membuat gendewa keramatnya dengan sekuat tenaga menghabisi manusia-manusia yang ia yakini telah tertanami oleh benih angkara dalam diri mereka. Meski untuk itu, ia harus abaikan kenyataan bahwa setiap korban panahnya adalah suami, anak, ayah, adik dan kakak bagi orang-orang lain yang sesungguhnya menunggu kepulangan mereka dengan selamat. Kelak, pengabaiannya itu harus membuat ia menangisi kematian anaknya, Abimanyu.

Namun, seterusnya, Kurusetra telah menjadi saksi yang bercerita tentang aksi kebrutalan Bima –satria yang dianggap paling kesatria– ketika membunuh Dursasana dan Suyudana dengan sadis; ketidakjujuran (bukan kebohongan) Yudhistira –satria Pandawa yang dikenal paling budiman– ketika mengabarkan kematian Aswatama kepada Resi Durna; kelicikan-kelicikan Kresna –titisan Dewa Wisnu yang dianggap luhur– merekayasa kematian Gatotkaca, Antareja, Durna dan juga kematian Jayadrata sang pembunuh Abimanyu; dan, Kurusetra meyaksikan sendiri keberpihakan para dewa-dewa untuk saling melindungi ‘anak’ mereka masing-masing.

Padang nan luas ini adalah saksi atas kontradiksi diri manusia. Yang dianggap sebagai yang terbaik pun ternyata mempunyai kegelapannya di sisinya yang lain. Seperti gading yang tidak pernah luput dari keretakan di permukaannya. Seperti matahari yang menyembunyikan permukaan gelapnya di sisinya yang lain.

Sebab khilaf memang manusiawi, kendati tidak lantas menjadi pembenar untuk selamanya menempati sisi gelap itu.
*** *** ***
Lebih dari itu, Kurusetra adalah tempat pengganjaran atas perbuatan-perbuatan di masa silam. Tidak perduli siapa yang melakukannya. Tak perduli motif dan niatan perbuatan itu. Selalu akan ada ganjaran bagi perbuatan sekecil apapun.

Suatu di Padang itu, senjata Kunta dilempar oleh Adipati Karna untuk membunuh Gatotkaca. Putra Bima ini segera melesat terbang menghindar, keluar dari jangkauan Tombak Kunta. Tapi senjata Kunta ternyata tidak terlempar sendirian. Bersamanya, turut arwah si Kalagruja yang membantu menancapkan Kunta ke dalam sarungnya yang tertinggal di dalam ari-ari Gatotkaca.

Konon, ketika Gatotkaca lahir, tidak ada satupun pisau yang sanggup memotong ari-arinya, kecuali dengan senjata Kunta milik Batara Indra. Usaha Arjuna mencari Kunta pun gagal, selain hanya membawa sarungnya saja. Kunta jatuh ke tangan Karna. Akhirnya, ari-ari itu pun terputus juga oleh sarung Kunta. Namun, aneh, sarung itu justru masuk ke dalam ari-ari bocah putra Bima tersebut.

Dan Kalagruja adalah seorang pelayan di Pringgadani yang dipukul mati oleh Gatotkaca karena tanpa sengaja ia membocorkan selingkuh Abimanyu kepada Siti Sundari, istri Abimanyu.

Dan saat Bharatayuda itu juga, dendam Kalagruja terbalaskan. Ia ikut menyorong Kunta ke dalam perut Gatotkaca.

Juga Resi Bisma yang perkasa ternyata harus tumbang di tangan perempuan tomboy bernama Srikandi, karena ruh Dewi Amba menuntut balas atas perlakuan Bisma terhadapnya.

Dewi Amba adalah putri Kasi yang pernah diculik Bisma untuk dinikahkan dengan Wicitrawirya, kakak Bisma. Demi mengetahui bahwa Dewi Amba sesungguhnya telah mengikat pertunangan dengan Prabu Salwa, Bisma segera mengembalikannya. Tetapi, sebagaimana juga Prabu Ramawijaya pernah meragukan kesucian Shinta setelah diculik Rahwana, Prabu Salwa menolak pengembalian itu. Antara malu bercampur sedih, Dewi Amba menuntut tanggung jawab Bisma untuk menikahinya, yang tentu saja Bisma tak dapat memenuhi permintaan itu karena ia telah memutuskan untuk tidak menikah selamanya.

Dewi Amba pun ngotot. Kengototan seorang perempuan yang dibalas Bisma dengan ancaman panah demi menakut-nakuti Amba agar mengurungkan kengototannya itu. Malangnya, busur itu terlepas dan anak panah melesat mengenai Dewi Amba. Sebelum matinya, dalam kecewa, marah dan dendam, Dewi Amba menuntut doa kepada Yang Kuasa untuk membalas perlakuan Bisma.

Padahal, Bisma melakukannya tanpa sengaja...

Dan dendamnya kemudian terbalas melalui Srikandi. Panah-panah Srikandi menembusi tubuh tinggi besar Bisma, menyangga tubuh itu hingga tidak mengena kotornya tanah, sebagai alas yang layak bagi seorang satria yang kalah di medan perang, menunggu saat-saat yang paling baik untuk memilih sendiri waktu kematiannya.
*** *** ***
Maka, jika Kurusetra adalah cerita, ia sebenarnya adalah metafora dari dunia nyata. Jika Arjuna adalah sekedar tokoh dalam dongeng, maka di kesungguhan hidup ini ada sekian banyak ‘Arjuna-Arjuna’ lain yang sering galau dan risau memandang perjalanan dunianya. Sebab realitas kasat hidup adalah susah benar untuk dimengerti dengan separo nurani. Sehingga memerlukan ‘Kresna-Kresna’ yang akan menggenapi penjelasan-penjelasan yang diperlukan di separuh nurani yang lain.

Untungnya, dunia juga akan selalu memiliki Kresna-Kresna itu, dan juga fungsi-fungsinya masing-masing –serta kepandaian dalam manuver, strategi, taktik dan rekayasanya. Sebab kalau tidak, ke mana para pencari jati diri semacam Arjuna mesti bertanya? Sebab kalau tidak melalui lisan Kresna, lisan siapa lagi yang pantas melantunkan pesan suci semacam Bhagawad Gita? Sebab kepada siapa lagi Arjuna mesti percaya?

Dan yang pasti, dunia juga penuh dengan manusia-manusia seperti Kalagruja dan Dewi Amba. Mereka adalah manusia yang mengalami penganiayaan dalam hidup yang sebentar ini. Kondisi teraniaya yang membuat doa, sumpah dan kutuk mereka pasti akan menjadi kenyataan. Meskipun, apakah hanya kutuk dan caci yang harus mereka keluarkan? Tidakkah maaf dan doa kebaikan lebih utama dirasakan manfaatnya bagi semua?

Maka, sosok-sosok manusia seperti Gatotkaca dan Bisma, juga Suyudana, Dursasana dan yang lain-lain yang konsisten mengumbar perilaku jahatnya harus bersiap-siap untuk menerima pembalasan atas bibit dendam yang mereka taburkan. Sebab sekecil apapun kejahatan yang pernah diperbuat, pasti akan membawakan kejahatan pula kepada pelakunya, kelak.
Padahal, setiap hari, baik sadar maupun tidak, kita senantiasa menjadi penebar bibit-bibit itu…

bila rembulan boikot


rembulan terpekik lirih
ia terkejut, tampak biasnya di tengah kolam
di permukaan wajahnya menetes air demi air mata Drupadi
melolong, bersuara seribu sabda lara

dupa-cupu kecil membubungkan asap
dimainkan siulan-siulan angin
berteriak sulih gema jerit drupadi
telah dilukai rembulan berasa

drupadi seorang perempuan, seperti dirinya
pilihannya hanyalah sejumput ikrar astuti
adalah kesetiaan yang tanpa ajrih
seperti dirinya menyetiai malam

tapi lantas drupadi dinodai…
kupu-kupu telah pergi dari gelung rambutnya
karena ia tak lagi bersanggul
telah tanggal perhiasan tusuk konde
hingga menggerainya rambut sebatas pinggang

burisrawa telah mencabiknya tadi siang
tiada yang menemaninya, selain hening
dan rontanya sendiri
maka ufuk barat telah turun di atas kehormatannya
gelap yang tiada sisa benderang

di tepi kolam itu drupadi terisak
kesedihan telah beringsut melewati batasnya
yang ia dapat tahankan
hanya dengan tangis itu ia berusaha tegar
menyendiri, ia sampaikan tiada rela

kini muka rembulan berbalut sungkawa
getir dan pucat, di antara kelebat bayangan
kelam malam yang ia tunggui

ia ingin menuntut bela

maka derak ranting pohon berubah gelisah
separau kicau burung hantu kemudian
jangkrik kian nyaring berbunyi hymne
memohon sang rembulan kembali kepada malam

malam kian tenggelam kini
tanpa rembulan, siapa yang akan menerangi kegelapannya
menjejeri kerlip bintang yang sayup sampai

rembulan telah niat berputus dengannya
akan tetap di tempat jauh kini
hingga tiada lagi drupadi yang meratap kehormatan sebagai perempuan

Minggu, 13 Januari 2008

Bila Drupadi Hendak Dinistai...


Oh Jagad Dewa Bathara, mata rembulan ingin mengatup, redup. Pedih, bukan di pelupuk nan penuh air mata, tapi hatinya yang tersayat. Di sana, nun, di sebuah balairung kerajaan Hastina nan terhormat, Drupadi sedang menangis setengah telanjang. Badannya menelungkup kaku, memegangi kemben yang hampir tanggal. Di ujung kemben lain, tangan Burisrawa sedang masyuk mempermain-mainkan syahwatnya.
Rembulan hampir berontak menyaksikan tragedi itu, ketika sebuah kehormatan nyaris terhempas dengan paksa. Tapi, toh apa yang bisa dilakukannya. Dipanggilnya awan hitam agar segera berarak menghalangi pandangan wajahnya dari peristiwa memilukan yang emoh disaksikannya. Tapi langit sedang tersenyap. Semuanya seolah sedang tertegun gundah. Apa daya?
Dilihatnya kelima Pandawa yang tertunduk tanpa kata. Ada geram, gusar, marah sekaligus perasaan bersalah dalam raut mereka. Terutama Yudhistira, yang telah mempertaruhkan sang istri di meja judi, melawan Kurawa. Sekalipun sangat murka, mereka tak mampu berbuat apa-apa. Tangan dan kesaktian mereka terborgol oleh janji sebagai bukti seorang ksatria, bahwa ketika Drupadi telah dipertaruhkan, dan mereka kalah, maka Drupadi bukan milik mereka lagi.
Rembulan mencaci para Pandawa dengan umpatan yang hanya ia sendiri yang bisa mendengarnya. "Kesatria macam apakah kalian yang meletakkan harga diri pribadi melebihi kehormatan seorang perempuan?" Tapi, teriakan rembulan, seperti biasanya, hanya semakin melesakkan dirinya dalam kerut yang semakin dalam.
Di ujung lantai seberang, Bala Kurawa tertawa gembira dengan diimbuhi sorak yang semakin membuat muka Burisrawa merah terang. Sejak lama ia menantikan saat untuk membuat Drupadi teronggok memohon ampun di depannya. Setelah apa yang dilakukan Drupadi kepadanya selama ini...
***
Sebuah malam yang berlalu seperti malam-malam sebelumnya bagi Burisrawa dan juga Drupadi.
“Kakang Buris, kuharap engkau tahu kalau aku bukan lagi perempuan bebas. Aku telah bersuami. Dan kau tahu siapa para suamiku itu. Mereka adalah ksatria-ksatria yang sakti pilih tanding. Mereka bahkan dapat melumatmu hanya dalam sekali tepuk kalau tahu engkau menemuiku malam-malam begini.”
Angin malam kian merajam persendian tulang saat diam-diam Burisrawa selalu menyelinap masuk ke Keputren Hastinapura. Tapi, ia masuk sebagai seorang pecinta, bukan pencuri. Atau pencuri cinta? Ia hanya menginginkan bertemu dengan cinta Drupadi.
Burung malam menguik rendah. Berpacu dengan angin risau yang datang menderap. Meskipun demikian, kesenyapan merajalela di setiap benak manusia yang menikmati malam-malam di Hastinapura.
“Tapi, jangan pernah tidak menemuiku di kala malam sunyi seperti ini, Kakang. Aku selalu akan memberimu kabar ketika para suamiku sedang tidak berada di sini. Di saat seperti itu, datanglah untuk menenangkan batinku. Aku butuh seorang sahabat, kawan dan saudara yang dapat menemaniku bercerita.”
“Kau tahu kesedihan yang kurasakan. Mereka menganggapku seperti barang taruhan. Mereka mengundi cintaku. Mereka mempertaruhkan cintaku di atas sebutir dadu untuk menentukan siapa yang bisa menikmati tubuhku setiap malamnya. Aku bahkan tak pernah tahu siapa yang harus kulayani setiap malamnya. Aku tak pernah diberi kesempatan memilih.”
Mata Drupadi langsung beranjak sembab dan memerah. Jika sudah demikian, ia mengunci tubuh Burisrawa dalam dekapannya. Sering, pundak Burisrawa basah oleh isak tangisnya.
Dia sama sekali tak pernah hirau akan perasaan Burisrawa ketika menerima cerita dan dekapan-dekapannya.
“Kakang Buris, mereka sesungguhnya teramat kejam padaku. Mereka tak pernah hiraukan perasaanku. Yang ada dalam benak mereka hanyalah Bharatayuda, Bharatayuda dan Bharatayuda. Aku hanyalah seselip kecil daging dalam keagungan diri mereka. Bisakah kakang bayangkan, bagaimana aku bisa bertahan dalam hidup seperti itu?”
Burisrawa semakin tak tahu harus melakukan apa. Yang bisa ia lakukan seringkali hanya mengusap rambut panjang Drupadi. Kadangkala, dengan mempererat pelukan Drupadi. Namun, perasaannya berbeda dengan yang Drupadi ingin dapatkan darinya.
‘Aku yakin mereka mencintaimu, Rayinda Drupadi. Apa yang mereka lakukan padamu tak lain karena mereka tak tahu bagaimana seharusnya mencintaimu.”
“Mereka sebenarnya tak mencintaiku”, sergah Drupadi cepat. “Yang mereka cintai hanya diri mereka sendiri. Kakang seharusnya tahu, saat kami semua berkumpul di balairung, yang akan kakang lihat dalam mata mereka adalah api kecemburuan terhadap satu sama lain. Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa seperti menunggu kesempatan untuk dapat dapat memilikiku seorang diri, meski dengan mengorbankan sesama saudara mereka sendiri.”
“Mereka ksatria terhormat dan berbudi luhur, Rayinda. Seluruh jagad pewayangan menghormati mereka. Jangan menganggap mereka seperti itu. Rayinda akan dikutuk dan dicela oleh semuanya.”
“Mereka tak tahu siapa yang mereka hormati!” suara Drupadi terdengar meninggi. “Bahkan, Kresna sang jelmaan Wisnu pun seolah terbutakan terhadap nasibku. Drupada, kakakku, sang Raja Pancala yang terhormat, telah terbius janji kemenangan dalam Bharatayuda sehingga tak hirau perasaan adiknya. Hanya engkau, Kakang Buris, yang dapat memahami perasaanku. Engkau lebih baik dari mereka semuanya. Tetaplah di sampingku, Kakang. Temani aku dalam merasakan hari-hari sedihku.”
Mata Drupadi terjulur memandang mata Burisrawa yang kembali tak dapat bicara dan berbuat apa-apa. Sorot mata yang menginginkan belas kasihan. Pancaran yang di dalamnya berbicara dan menginginkan perlindungan.
Sayangnya, Burisrawa tak pernah ingin memberikan apa yang diinginkan Drupadi. Kecamuk hatinya menginginkan lebih dari tawaran Drupadi. Ia hanya berharap, suatu saat keinginan mereka akan bertemu.
Yang bisa ia lakukan biasanya hanya berusaha melepaskan pelukan Drupadi. Kendati suka, lama-lama ia jengah dengan arti pelukan itu. Seterusnya, ia hanya akan mengendap-endap pulang. Ia merasa dewa telah berlaku tidak adil padanya. Ia tahu, Drupadi telah terpuaskan hasratnya memaki-maki para suaminya. Sedangkan ia? Hanya bisa pulang dengan gairah yang tergantung bersama sang rembulan yang juga tengah menangis redup. Entah apa yang sedang ia tangiskan, tiada seorang pun tahu. Nasib Drupadikah? Atau trenyuh dengan perselingkuhan yang sedang disaksikannya.
Ah, rembulan tetaplah rembulan. Ia hanya dapat menyaksikan apa yang ada di depannya. Kalau saja ia mempunyai ingatan, akankah ia tetap mengutuk Burisrawa dalam peristiwa perjudian di Balairung istana Hastinapura itu setahun kemudian?

hesty
Malang, 29 Juni 2004
19.29

PENCAPAIAN ATAUKAH TERBERIKAN?



“Ya Rasulullah, yang kecintaan terhadapmu harus karena mengikuti kecintaan terhadap ALLAH, aku ingin mencintaimu karena ALLAH menyuruhku mencintaimu. Karena Dia teramat mencintaimu, maka ia suruh malaikat dan seluruh makhluk mencintaimu pula. Innallaha wa malaikatahu yusholluuna ‘alan nabi, yaa ayyuhalladzina amanu sholluu a‘laihi wa sallimutaslima. Dan bagi kami, mencintaimu adalah bagian yang tak terpisahkan dari mencintai ALLAH.


“Ya Rasulullah, cintaNya terhadapmu telah membuatnya menciptakan kami dalam ruang mahabbah yang indah tak terperi. Engkaulah penerus cinta sejati dan kesejatian cinta. Engkau pulalah yang ditunjuk menjadi petunjuk untuk menemukan sang cinta sejati. Karena engkaulah, rahmatNya terberikan. Melalui engkaulah rahmat itu tersalurkan. Wa maa arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin.


“Ya, Rasulullah yang telah tertumpahi cinta sejati, cemburu kepadamu adalah sebenar-benarnya kecemburuan. Banyak hal yang seharusnya membuatku benci dan cemburu kepadamu. Kehadiranmu telah memonopoli cinta sang pemilik cinta sejati. Namun, dengan kehadiranmu pula, akupun sebenar-benarnya tak punya alasan untuk tidak mengakui, mengagumi dan mencintaimu. Karena melaluimu, cinta sejati itu bisa kurasakan.”


“Ya Rasulullah yang cintamu kepada setiap dari kami menjadi sebab turunnya pertolongan Allah kepada kami, ALLAH memberimu kewenangan untuk memberikan syafaat kepada setiap yang kau kehendaki. Berikanlah syafa'atmu kepada kami yang menginginkan keselamatan dari kesesatan meniti jalan terjal menuju ridho ALLAH. Dengan syafa'at darimu, semoga ALLAH selalu membisikkan ke dalam hati kami untuk selalu menetapkan diri memegang Islam sebagai satu-satunya cara bagi kami dalam berjalan melampaui hidup di dunia ini.”


“Ya Rasulullah yang kehadiranmu menjadi penerang atas kegelapan di seluruh penjuru semesta, karena ALLAH telah memilihmu untuk menjadi contoh bagi seluruh umatmu, maka adakah alasan bagiku untuk tidak memilihmu menjadi panutan hidupku? Dalam sejarahmu terdapat teladan. Dalam kisah mengenaimu terdapat sebenar-benarnya petunjuk yang nyata. Dalam perkataan, perbuatan dan diammu terdapat bimbingan untuk membalas cinta ALLAH kepada segenap makhlukNya.”


“Ya Rasulullah yang dipilih ALLAH untuk tugas yang teramat berat, engkau dipilih olehNya karena kesempurnaan akhlakmu, kekuatan pribadimu, kasih sayangmu terhadap orang-orang mukmin dan kesanggupanmu untuk menjalankan segala tugas yang disandangkan ALLAH di pundakmu. Dengan ikhtiarmu, engkau melayakkan diri sebagai yang terpilih. Dia memilihmu karena engkau layak dipilih karena maqam yang kau capai dengan segala ikhtiar-ikhtiarmu.”


“Ya Rasulullah yang diberikan ALLAH kepadamu teramat banyak hal, kesucian, kemuliaan, kasih, keindahan, budi pekerti. Dengan karuniaNya engkau menjalankan tugas-tugas terama berat. Dengan kemurahanNya, engkau memberikan segalanya kepada kami. Dengan kasihNya engkau mengasihi kami.


Muhammad menjadi seorang rasul akhir jaman karena dia memang telah dipilih oleh ALLAH. Tapi, bukankah ALLAH memilih dan memberi sesuatu kepada makhlukNya karena si makhluk memang pantas diberi sesuatu? Memang, pantas atau tidaknya makhluk pun karena kehendak dan ijin ALLAH. Tapi, bukankah setiap makhluk pun diijinkan berkehendak dan berusaha untuk mencapai maqam kepantasan?


Karenanya, terpilihnya seorang Ahmad ibn Abdullah sebagai manusia yang berhak menyandang gelar Rasulullah SAW adalah karena dia memang manusia yang pantas untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang rasul hingga akhir jaman. Dalam pandangan ALLAH, tidak ada manusia lain yang kelayakannya melebihi kelayakan Ahmad ibn Abdullah untuk ditunjuk menjadi Rasulullah, baik sebelum maupun sesudah Ahmad ibn Abdullah dilahirkan.


“Ya, ALLAH tetapkan sesuatu karena kebijaksanaan dan pengetahuanNya yang tak terbatas luas dan jauhnya. Dia buat sesuatu di saat sekarang dengan pengetahuanNya tentang segala sesuatu di masa lampau dan masa depan makhlukNya. Dia tak pernah lupa dengan apa-apa yang pernah terjadi sebagaimana Dia maha tahu akan apa-apa yang hendak terjadi.”


Dengan demikian, ketika menetapkan bahwa Ahmad ibn Abdullah adalah manusia yang tepat untuk dikaruniaiNya dengan Nur Muhammad, antara lain Dia tiada lupa dengan kesalehan para nenek moyang Ahmad ibn Abdullah, sejak jaman Adam, doa Ibrahim sang khalilullah, balasan untuk Ismail yang penuh bakti, dan seterusnya. Dia juga tak lalai dengan doa seluruh makhluk untuk segera turunnya sang ruh yang tersucikan ke dalam wujud manusia agar segera datang kabar gembira dan rahmat yang telah lama dijanjikanNya.


Dan Dia juga maha tahu lagi maha bijaksana bahwa Ahmad muda akan segera digelari “Al-Amin” karena keteguhannya memegang kebenaran sebab dia adalah yang tertunjuk.


Dia maha tahu lagi maha bijaksana bahwa dengan segala konsekuensi dari tugas teramat berat untuk menancapkan panji-panji Islam, Ahmad ibn Abdullah akan sanggup menanggung dan mengemban segala tugas tersebut jika dia ditunjuk sebagai yang terpilih.


Dia maha tahu lagi maha bijaksana bahwa ketegaran seorang Ahmad ibn Abdullah akan mampu memimpin umatnya melewati ujian dan peperangan-peperangan yang teramat berat karena dia terberkati dengan kepemimpinan yang dianugerahkan kepadaNya.


Dia maha tahu lagi maha bijaksana bahwa Jibril dengan senang hati akan mendampingi Ahmad ibn Abdullah dalam menjalankan tugas-tugasnya, sejak Ahmad terlahir hingga Izrail tertunduk takzim sebelum mengantarnya keluar dari dunia. Kebahagiaan yang tak pernah Jibril tampakkan sebelum dan sesudah tugas pengabdiannya kepada Muhammad.


Dia maha tahu lagi maha bijaksana bahwa seluruh semesta tidak akan menemukan keraguan sedikitpun untuk mengucapkan shalawat kepadanya karena dia memang layak untuk menerima shalawat dariNya dan dari sekian tak terhitung jumlah makhlukNya.


Dia maha tahu bahwa nasib seorang budak bernama Bilal akan segera menjadi mulia karena pertemuannya dengan seseorang yang ketika kecil bernama Ahmad ibn Abdullah, bergelar Al-Amin ketika mudanya dan menjadi sang Muhammad saat dirinya telah cukup layak untuk diberikan wahyu.


Bahkan, Dia maha tahu bahwa seekor semut akan memperoleh makanannya pada saat menjelang hari akhir sebagai implikasi –yang lebih kompleks dari sekedar pola linieritas– dari ditetapkanNya Ahmad ibn Abdullah sebagai sang pemungkas para rasul. Karena Ahmad ibn Abdullah adalah rahmat yang datang untuk seluruh alam semesta.


Dia maha tahu lagi maha bijaksana, beserta kemahaanNya yang lain yang teramat sangat banyak untuk dapat disebutkan, bahwa menetapkan Ahmad sebagai Muhammad Rasulullah adalah setepat-tepat pilihan, dalam sebenar-benarnya saat yang dapat membawa seluas-luasnya manfaat. “Maka, adakah alasan untuk tidak khusnudhon, tunduk dan patuh kepadaNya? Karena apa yang telah ditetapkanNya adalah sesejati-sejatinya ketetapan.”


Sehingga, Dia berikan segala keistimewaan yang belum dan tiada akan pernah diberikanNya kepada makhluk lain di sesaatNya yang berupa semesta manusia. Sehingga Ahmad ibn Abdullah menjadi makhluk termulia dan teristimewa, menjadikannya sebagai titik akhir dari pencapaian ketakwaan, pemungkas predikat para nabi dan rasul.




(hesty, lupa waktu)