Minggu, 13 Januari 2008

Bila Drupadi Hendak Dinistai...


Oh Jagad Dewa Bathara, mata rembulan ingin mengatup, redup. Pedih, bukan di pelupuk nan penuh air mata, tapi hatinya yang tersayat. Di sana, nun, di sebuah balairung kerajaan Hastina nan terhormat, Drupadi sedang menangis setengah telanjang. Badannya menelungkup kaku, memegangi kemben yang hampir tanggal. Di ujung kemben lain, tangan Burisrawa sedang masyuk mempermain-mainkan syahwatnya.
Rembulan hampir berontak menyaksikan tragedi itu, ketika sebuah kehormatan nyaris terhempas dengan paksa. Tapi, toh apa yang bisa dilakukannya. Dipanggilnya awan hitam agar segera berarak menghalangi pandangan wajahnya dari peristiwa memilukan yang emoh disaksikannya. Tapi langit sedang tersenyap. Semuanya seolah sedang tertegun gundah. Apa daya?
Dilihatnya kelima Pandawa yang tertunduk tanpa kata. Ada geram, gusar, marah sekaligus perasaan bersalah dalam raut mereka. Terutama Yudhistira, yang telah mempertaruhkan sang istri di meja judi, melawan Kurawa. Sekalipun sangat murka, mereka tak mampu berbuat apa-apa. Tangan dan kesaktian mereka terborgol oleh janji sebagai bukti seorang ksatria, bahwa ketika Drupadi telah dipertaruhkan, dan mereka kalah, maka Drupadi bukan milik mereka lagi.
Rembulan mencaci para Pandawa dengan umpatan yang hanya ia sendiri yang bisa mendengarnya. "Kesatria macam apakah kalian yang meletakkan harga diri pribadi melebihi kehormatan seorang perempuan?" Tapi, teriakan rembulan, seperti biasanya, hanya semakin melesakkan dirinya dalam kerut yang semakin dalam.
Di ujung lantai seberang, Bala Kurawa tertawa gembira dengan diimbuhi sorak yang semakin membuat muka Burisrawa merah terang. Sejak lama ia menantikan saat untuk membuat Drupadi teronggok memohon ampun di depannya. Setelah apa yang dilakukan Drupadi kepadanya selama ini...
***
Sebuah malam yang berlalu seperti malam-malam sebelumnya bagi Burisrawa dan juga Drupadi.
“Kakang Buris, kuharap engkau tahu kalau aku bukan lagi perempuan bebas. Aku telah bersuami. Dan kau tahu siapa para suamiku itu. Mereka adalah ksatria-ksatria yang sakti pilih tanding. Mereka bahkan dapat melumatmu hanya dalam sekali tepuk kalau tahu engkau menemuiku malam-malam begini.”
Angin malam kian merajam persendian tulang saat diam-diam Burisrawa selalu menyelinap masuk ke Keputren Hastinapura. Tapi, ia masuk sebagai seorang pecinta, bukan pencuri. Atau pencuri cinta? Ia hanya menginginkan bertemu dengan cinta Drupadi.
Burung malam menguik rendah. Berpacu dengan angin risau yang datang menderap. Meskipun demikian, kesenyapan merajalela di setiap benak manusia yang menikmati malam-malam di Hastinapura.
“Tapi, jangan pernah tidak menemuiku di kala malam sunyi seperti ini, Kakang. Aku selalu akan memberimu kabar ketika para suamiku sedang tidak berada di sini. Di saat seperti itu, datanglah untuk menenangkan batinku. Aku butuh seorang sahabat, kawan dan saudara yang dapat menemaniku bercerita.”
“Kau tahu kesedihan yang kurasakan. Mereka menganggapku seperti barang taruhan. Mereka mengundi cintaku. Mereka mempertaruhkan cintaku di atas sebutir dadu untuk menentukan siapa yang bisa menikmati tubuhku setiap malamnya. Aku bahkan tak pernah tahu siapa yang harus kulayani setiap malamnya. Aku tak pernah diberi kesempatan memilih.”
Mata Drupadi langsung beranjak sembab dan memerah. Jika sudah demikian, ia mengunci tubuh Burisrawa dalam dekapannya. Sering, pundak Burisrawa basah oleh isak tangisnya.
Dia sama sekali tak pernah hirau akan perasaan Burisrawa ketika menerima cerita dan dekapan-dekapannya.
“Kakang Buris, mereka sesungguhnya teramat kejam padaku. Mereka tak pernah hiraukan perasaanku. Yang ada dalam benak mereka hanyalah Bharatayuda, Bharatayuda dan Bharatayuda. Aku hanyalah seselip kecil daging dalam keagungan diri mereka. Bisakah kakang bayangkan, bagaimana aku bisa bertahan dalam hidup seperti itu?”
Burisrawa semakin tak tahu harus melakukan apa. Yang bisa ia lakukan seringkali hanya mengusap rambut panjang Drupadi. Kadangkala, dengan mempererat pelukan Drupadi. Namun, perasaannya berbeda dengan yang Drupadi ingin dapatkan darinya.
‘Aku yakin mereka mencintaimu, Rayinda Drupadi. Apa yang mereka lakukan padamu tak lain karena mereka tak tahu bagaimana seharusnya mencintaimu.”
“Mereka sebenarnya tak mencintaiku”, sergah Drupadi cepat. “Yang mereka cintai hanya diri mereka sendiri. Kakang seharusnya tahu, saat kami semua berkumpul di balairung, yang akan kakang lihat dalam mata mereka adalah api kecemburuan terhadap satu sama lain. Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa seperti menunggu kesempatan untuk dapat dapat memilikiku seorang diri, meski dengan mengorbankan sesama saudara mereka sendiri.”
“Mereka ksatria terhormat dan berbudi luhur, Rayinda. Seluruh jagad pewayangan menghormati mereka. Jangan menganggap mereka seperti itu. Rayinda akan dikutuk dan dicela oleh semuanya.”
“Mereka tak tahu siapa yang mereka hormati!” suara Drupadi terdengar meninggi. “Bahkan, Kresna sang jelmaan Wisnu pun seolah terbutakan terhadap nasibku. Drupada, kakakku, sang Raja Pancala yang terhormat, telah terbius janji kemenangan dalam Bharatayuda sehingga tak hirau perasaan adiknya. Hanya engkau, Kakang Buris, yang dapat memahami perasaanku. Engkau lebih baik dari mereka semuanya. Tetaplah di sampingku, Kakang. Temani aku dalam merasakan hari-hari sedihku.”
Mata Drupadi terjulur memandang mata Burisrawa yang kembali tak dapat bicara dan berbuat apa-apa. Sorot mata yang menginginkan belas kasihan. Pancaran yang di dalamnya berbicara dan menginginkan perlindungan.
Sayangnya, Burisrawa tak pernah ingin memberikan apa yang diinginkan Drupadi. Kecamuk hatinya menginginkan lebih dari tawaran Drupadi. Ia hanya berharap, suatu saat keinginan mereka akan bertemu.
Yang bisa ia lakukan biasanya hanya berusaha melepaskan pelukan Drupadi. Kendati suka, lama-lama ia jengah dengan arti pelukan itu. Seterusnya, ia hanya akan mengendap-endap pulang. Ia merasa dewa telah berlaku tidak adil padanya. Ia tahu, Drupadi telah terpuaskan hasratnya memaki-maki para suaminya. Sedangkan ia? Hanya bisa pulang dengan gairah yang tergantung bersama sang rembulan yang juga tengah menangis redup. Entah apa yang sedang ia tangiskan, tiada seorang pun tahu. Nasib Drupadikah? Atau trenyuh dengan perselingkuhan yang sedang disaksikannya.
Ah, rembulan tetaplah rembulan. Ia hanya dapat menyaksikan apa yang ada di depannya. Kalau saja ia mempunyai ingatan, akankah ia tetap mengutuk Burisrawa dalam peristiwa perjudian di Balairung istana Hastinapura itu setahun kemudian?

hesty
Malang, 29 Juni 2004
19.29

Tidak ada komentar: