Senin, 14 Januari 2008

Kurusetra dan Penyaksian Pembalasan


Padang Kurusetra, sebuah tempat, yang seorang satria gagah seperti Bima pun bergidik mendengar namanya. Tempat itu berupa sebuah tegalan teramat luas tempat Begawan Ramabargawa pernah mengamuk dan membunuh ribuan satria, dan membuat tujuh Telaga Saptapancaka dari darah mereka. Angker dan amis. Hawa pembunuhan seolah-olah curahan dendam para ksatria yang terbunuh.

Sebelumnya, di tempat itu, atas perintah ayahnya, Ramabargawa membunuh ibunya sendiri yang telah berselingkuh.

Ia melakukan pembunuhan itu dengan kesadaran yang terpecah. Pilihan itu lebih pahit dari Simalakama. Kalau ia tidak membunuh ibunya, ia sendiri yang akan ditikam ayahnya, seperti kedua kakaknya yang enggan melakukan perintah itu. Padahal, ibunya pasti akan mati juga oleh seorang suami yang menganggap pengkhianatan adalah sesuatu yang tak bisa dimaafkan.

Ah, benarkah pengkhianatan tak dapat dimaafkan, keluh Ramabargawa dalam gelisah. Lantas, bagaimana dengan pengkhianatan yang hendak dilakukannya terhadap seseorang yang telah mengantarnya pada kehidupan? Akankah pengkhianatan selalu layak, dan harus, dibalas dengan pengkhianatan pula?

Tapi simpuhan tubuh itu, tak urung jua, merasakan kekejaman kapak saktinya. Menghunjam, menyisakan sejumput kering kegetiran yang bertahan lama. Ia sendiri tak bisa menjelaskan apakah ia melakukannya karena bakti kepada ayahnya ataukah karena menuruti rasa takutnya terhadap kematian yang dijanjikan ayahnya bila ia menolak perintah itu.

Batin Ramabargawa tergoncang dahsyat. Siapa yang tidak akan bergemuruh jiwanya demi mendengar jerit ibu kandung yang berlumuran darah? Tak terkecuali Ramabargawa muda, betapapun kenyangnya ia melakukan olah batin dengan tapabrata. Apalagi ketika disadarinya bahwa darah tersebut berasal dari kapak yang sedang digenggamnya sendiri.

Dipeluknya tubuh yang sudah dingin itu dengan hati yang lantak oleh sesal. Sesal yang telah membuatnya gelap mata, dan menjadikannya tidak lagi menghargai sesuatu yang hidup. Tanpa sesal, dibunuhnya setiap satria yang melewati tempat ia merenungi kematian ibundanya.

Maka bukit itupun kemudian penuh simbah darah. Dan ketika akhirnya Ramabargawa terbebaskan dari dendam kesumat, tewas diterjang panah Ramawijaya, lautan darah itupun mengering, jadilah Kurusetra, tempat yang sejak awal dicadangkan para dewata untuk berlangsungnya Perang Bharatayuda.

Itu terjadi jauh sebelumnya, di masa Ramayana. Saat Wisnu masih menitis kepada Ramawijaya. Ketika predikat angkara murka masih disandangkan kepada Prabu Rahwana. Dan pusaka Panah Guawijaya milik sang Rama menghabisi Rahwana yang tergila-gila dengan kecantikan Dewi Shinta.
*** *** ***
Sekarang, di sebuah ujung di tegalan itu, di puncak sebuah bukit, Arjuna tengah sendiri termenung. Nuraninya merasakan kepedihan yang amat sangat ketika menyaksikan perang dahsyat yang sedang berlangsung di padang itu. Perang besar yang telah tertulis dalam suratan takdir ribuan tahun sebelum generasi Bharata ada, kini tengah berlangsung di depan matanya. Hatinya miris, dan matanya termangu melihat kekejaman manusia atas sesamanya.

Takdir, ah, mengapa harus sekejam ini? Mengapa suratan yang digoreskan oleh tangan Sang Maha Welas Asih harus terterjemahkan dalam bentuk penderitaan? Mengapa justru Sang Mahaadil menghendaki sesuatu yang dirasakan sebagai ketidakadilan oleh kehidupan yang Ia ciptakan sendirian?

Rasa Arjuna tak bisa lari dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ingin rasanya dia melepaskan Pasopati, sang panah saktinya, kepada matahari. Biar semuanya selesai saat itu juga. Biar semuanya merasakan “keselesaian” yang sama saat itu juga. Biar, desis Arjuna, biar beban itu tuntas seketika dengan buyarnya kehidupan di bawah matahari.

Arjuna teringat, perang dahsyat ini ada hanya karena sebuah hak yang mesti direbut dan dipertahankan. Tapi, kenapa hanya untuk menuntut sebuah hak Pandawa atas Hastinapura dan Indraprasta dari tangan Kurawa, jutaan nyawa ternyata harus saling menghilangkan, teriak batinnya menggugat. Apakah leluhurnya dahulu mengumpulkan kekayaan sedemikian banyak hanya untuk menciptakan kerusuhan sepeninggal mereka?

Dia teringat akan tahta Hastinapura yang menjadi musabab peperangan dahsyat ini. Ayahnya, Pandudewanata, dulu ditunjuk menjadi raja karena sang pewaris tahta resmi, Destarasta, pakdhe-nya, telah buta sejak lahir. Padahal, sebagai putra sulung, Destarastalah yang sebenarnya paling berhak duduk di tahta itu. Protes Destarasta saat itu menjadi tidak berguna sama sekali. Sebab, apa yang bisa dilakukan oleh seorang buta yang sejak kecil tidak pernah melihat abu-abunya motif manusia, seluhur apapun mereka, tentang kepemilikan sepenggal kekuasaan.

Dan kemudian Destarasta boleh bernafas lega, meski untuk sejenak. Pandu mati. Kematian Pandu membuatnya berkesempatan merasakan kursi tertinggi itu, meski hanya berstatus wali bagi anak-anak Pandu. Ini peluang baginya untuk mempersiapkan anak-anaknya agar bisa menjadi raja. Sebab ia toh juga seperti kebanyakan orang tua-orang tua yang lain, menginginkan anak-anaknya menjadi busur dari panah-panah mereka. Menjadikan darah daging sendiri sebagai pelaksana dari impian-impian masa lalu mereka. Impian masa lalu yang entah masih relevan atau tidak untuk tetap dikejar sekarang.

Arjuna, juga saudara-sudaranya yang lain, bukannya tidak menyadari siapa yang paling berhak berkuasa di Hastinapura selain ayah mereka. Tapi siapa yang tidak ingin hidup dengan gelimang kekuasaan? Minimal mencicipinya. Apalagi jika kekuasaan itu sejak awal telah dianggap menjadi jatah mereka. Juga harta berlimpah yang secara ajeg terkumpul dari negara-negara jajahan Hastinapura. Semuanya seakan menjadi alasan tepat baginya dan saudara-saudaranya untuk pergi berperang menghadapi Kurawa dan seluruh balatentara mereka.

Ah, semua orang mempunyai alasan masing-masing.

Tapi, toh Arjuna gamang juga. Pengembaraan dan pertapaannya sekian lama telah mengajarkan kepadanya tentang arti kekuasaan, harta dan juga kuasa terhadap harta. Dan sekarang, di tengah-tengah perang, saatnya batin itu berontak. Mengapa ia mesti terlibat dalam mempertaruhkan nyawa jutaan manusia hanya demi harta?

Atau, haruskah ia mundur? Berlari meninggalkan saudara-saudaranya, dan jutaan balatentara yang telah bersumpah setia kepada Pandawa. Entah apapun motif sumpah setia itu.
*** *** ***
Adalah kewaskitaan Kresna yang mampu melihat ‘pertempuran’ dalam batin satria panengah Pandawa itu. Bagi Kresna, memilih pilihan di antara dilema dan terbelahnya batin karena sekian pertanyaan-pertanyaan reflektif adalah bagian dari tugasnya.

Ajaran sebagaimana terdapat dalam kitab Bhagawad Gita kemudian terlantun dari manusia jelmaan Batara Wisnu ini. Jelas Kresna, bahwa perang ini memang terjadi karena pandawa sedang menuntut haknya. Akan tetapi, betapa setiap tuntutan terhadap hak ternyata tidak pernah berdiri sendirian. Di belakangnya, menyertai puluhan ribuan bahkan mungkin tak bisa terhitung alasan yang menuntut pula untuk dikabulkan. Karena alasan tidak pernah berdiri tunggal. Bahwa hak ternyata hanyalah salah satu ujung tombak dari sekian konsekuensi dan akibat yang harus dipenuhi. Dan ketika hak menuntut untuk dituntaskan, pengorbanan dan mengkorbankan adalah salah satu konsekuensinya.

Seolah-olah, atas Arjuna, Kresna telah menjadi Khidir terhadap Musa.

Dan Bharatayuda bukanlah sekedar pertempuran Pandawa untuk memperoleh kembali hak-haknya atas Indraprasta dan tahta Pandudewanata, tapi telah menjadi perang milik sang kesucian, antara kebenaran dan kebatilan. Sehingga dalam perang ini, siapapun, termasuk juga Pandawa bersaudara, akan terkena tuah akibat ketidaksuciannya.
*** *** ***
Padang Kurusetra kemudian menyaksikan kembalinya Arjuna sebagai senapati perang Pandawa. Spirit yang ditanamkan Kresna, membuat gendewa keramatnya dengan sekuat tenaga menghabisi manusia-manusia yang ia yakini telah tertanami oleh benih angkara dalam diri mereka. Meski untuk itu, ia harus abaikan kenyataan bahwa setiap korban panahnya adalah suami, anak, ayah, adik dan kakak bagi orang-orang lain yang sesungguhnya menunggu kepulangan mereka dengan selamat. Kelak, pengabaiannya itu harus membuat ia menangisi kematian anaknya, Abimanyu.

Namun, seterusnya, Kurusetra telah menjadi saksi yang bercerita tentang aksi kebrutalan Bima –satria yang dianggap paling kesatria– ketika membunuh Dursasana dan Suyudana dengan sadis; ketidakjujuran (bukan kebohongan) Yudhistira –satria Pandawa yang dikenal paling budiman– ketika mengabarkan kematian Aswatama kepada Resi Durna; kelicikan-kelicikan Kresna –titisan Dewa Wisnu yang dianggap luhur– merekayasa kematian Gatotkaca, Antareja, Durna dan juga kematian Jayadrata sang pembunuh Abimanyu; dan, Kurusetra meyaksikan sendiri keberpihakan para dewa-dewa untuk saling melindungi ‘anak’ mereka masing-masing.

Padang nan luas ini adalah saksi atas kontradiksi diri manusia. Yang dianggap sebagai yang terbaik pun ternyata mempunyai kegelapannya di sisinya yang lain. Seperti gading yang tidak pernah luput dari keretakan di permukaannya. Seperti matahari yang menyembunyikan permukaan gelapnya di sisinya yang lain.

Sebab khilaf memang manusiawi, kendati tidak lantas menjadi pembenar untuk selamanya menempati sisi gelap itu.
*** *** ***
Lebih dari itu, Kurusetra adalah tempat pengganjaran atas perbuatan-perbuatan di masa silam. Tidak perduli siapa yang melakukannya. Tak perduli motif dan niatan perbuatan itu. Selalu akan ada ganjaran bagi perbuatan sekecil apapun.

Suatu di Padang itu, senjata Kunta dilempar oleh Adipati Karna untuk membunuh Gatotkaca. Putra Bima ini segera melesat terbang menghindar, keluar dari jangkauan Tombak Kunta. Tapi senjata Kunta ternyata tidak terlempar sendirian. Bersamanya, turut arwah si Kalagruja yang membantu menancapkan Kunta ke dalam sarungnya yang tertinggal di dalam ari-ari Gatotkaca.

Konon, ketika Gatotkaca lahir, tidak ada satupun pisau yang sanggup memotong ari-arinya, kecuali dengan senjata Kunta milik Batara Indra. Usaha Arjuna mencari Kunta pun gagal, selain hanya membawa sarungnya saja. Kunta jatuh ke tangan Karna. Akhirnya, ari-ari itu pun terputus juga oleh sarung Kunta. Namun, aneh, sarung itu justru masuk ke dalam ari-ari bocah putra Bima tersebut.

Dan Kalagruja adalah seorang pelayan di Pringgadani yang dipukul mati oleh Gatotkaca karena tanpa sengaja ia membocorkan selingkuh Abimanyu kepada Siti Sundari, istri Abimanyu.

Dan saat Bharatayuda itu juga, dendam Kalagruja terbalaskan. Ia ikut menyorong Kunta ke dalam perut Gatotkaca.

Juga Resi Bisma yang perkasa ternyata harus tumbang di tangan perempuan tomboy bernama Srikandi, karena ruh Dewi Amba menuntut balas atas perlakuan Bisma terhadapnya.

Dewi Amba adalah putri Kasi yang pernah diculik Bisma untuk dinikahkan dengan Wicitrawirya, kakak Bisma. Demi mengetahui bahwa Dewi Amba sesungguhnya telah mengikat pertunangan dengan Prabu Salwa, Bisma segera mengembalikannya. Tetapi, sebagaimana juga Prabu Ramawijaya pernah meragukan kesucian Shinta setelah diculik Rahwana, Prabu Salwa menolak pengembalian itu. Antara malu bercampur sedih, Dewi Amba menuntut tanggung jawab Bisma untuk menikahinya, yang tentu saja Bisma tak dapat memenuhi permintaan itu karena ia telah memutuskan untuk tidak menikah selamanya.

Dewi Amba pun ngotot. Kengototan seorang perempuan yang dibalas Bisma dengan ancaman panah demi menakut-nakuti Amba agar mengurungkan kengototannya itu. Malangnya, busur itu terlepas dan anak panah melesat mengenai Dewi Amba. Sebelum matinya, dalam kecewa, marah dan dendam, Dewi Amba menuntut doa kepada Yang Kuasa untuk membalas perlakuan Bisma.

Padahal, Bisma melakukannya tanpa sengaja...

Dan dendamnya kemudian terbalas melalui Srikandi. Panah-panah Srikandi menembusi tubuh tinggi besar Bisma, menyangga tubuh itu hingga tidak mengena kotornya tanah, sebagai alas yang layak bagi seorang satria yang kalah di medan perang, menunggu saat-saat yang paling baik untuk memilih sendiri waktu kematiannya.
*** *** ***
Maka, jika Kurusetra adalah cerita, ia sebenarnya adalah metafora dari dunia nyata. Jika Arjuna adalah sekedar tokoh dalam dongeng, maka di kesungguhan hidup ini ada sekian banyak ‘Arjuna-Arjuna’ lain yang sering galau dan risau memandang perjalanan dunianya. Sebab realitas kasat hidup adalah susah benar untuk dimengerti dengan separo nurani. Sehingga memerlukan ‘Kresna-Kresna’ yang akan menggenapi penjelasan-penjelasan yang diperlukan di separuh nurani yang lain.

Untungnya, dunia juga akan selalu memiliki Kresna-Kresna itu, dan juga fungsi-fungsinya masing-masing –serta kepandaian dalam manuver, strategi, taktik dan rekayasanya. Sebab kalau tidak, ke mana para pencari jati diri semacam Arjuna mesti bertanya? Sebab kalau tidak melalui lisan Kresna, lisan siapa lagi yang pantas melantunkan pesan suci semacam Bhagawad Gita? Sebab kepada siapa lagi Arjuna mesti percaya?

Dan yang pasti, dunia juga penuh dengan manusia-manusia seperti Kalagruja dan Dewi Amba. Mereka adalah manusia yang mengalami penganiayaan dalam hidup yang sebentar ini. Kondisi teraniaya yang membuat doa, sumpah dan kutuk mereka pasti akan menjadi kenyataan. Meskipun, apakah hanya kutuk dan caci yang harus mereka keluarkan? Tidakkah maaf dan doa kebaikan lebih utama dirasakan manfaatnya bagi semua?

Maka, sosok-sosok manusia seperti Gatotkaca dan Bisma, juga Suyudana, Dursasana dan yang lain-lain yang konsisten mengumbar perilaku jahatnya harus bersiap-siap untuk menerima pembalasan atas bibit dendam yang mereka taburkan. Sebab sekecil apapun kejahatan yang pernah diperbuat, pasti akan membawakan kejahatan pula kepada pelakunya, kelak.
Padahal, setiap hari, baik sadar maupun tidak, kita senantiasa menjadi penebar bibit-bibit itu…

2 komentar:

weha mengatakan...

dunia ini panggung sandiwara....

Moses Foresto mengatakan...

Postingan bagus! Asik & menarik. Tq.